25.3 C
Jakarta
Sab 18 Januari 2025
BerandaRagamKH Ahmad Dahlan, Sang Pencerah Pendiri Muhammadiyah

KH Ahmad Dahlan, Sang Pencerah Pendiri Muhammadiyah

Sabtu, Januari 18, 2025

Muslim Pop | KH Ahmad Dahlan adalah pendiri Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Selain itu, KH Ahmad Dahlan adalah tokoh kebangkitan nasional, dan juga ditetapkan sebagai pahlawan.

Dalam Buku KH Ahmad Dahlan yang ditulis Prof Dr. Abdul Mu’thi, M.Ed diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2015. Kini, Abdul Mu’ti yang Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Kiai Haji Ahmad Dahlan putra pribumi asli kelahiran Yogyakarta kelahiran 1 Agustus 1868. Bermukim di Kampung Kauman. Nama lahirnya adalah Muhammad Darwis.

Ia adalah putra keempat dari pasangan Kiai Haji Abu Bakar bin Haji Sulaiman dengan Siti Aminah binti Kiai Haji Ibrahim. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. Ia termasuk keturunan yang ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.
Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul

Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH Muhammad Sulaiman, KH Abu Bakar, dan Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan).

Didik Lukman Hariri dalam buku Jejak Sang Pencerah (2010) mengungkapkan, Muhammad Darwis atau Ahmad Dahlan kecil telah terlihat sebagai anak yang cerdas dan kreatif. Dia mampu mempelajari dan memahami kitab yang diajarkan di pesantren secara mandiri.

Ahmad Dahlan dididik secara langsung oleh orang tuanya dalam lingkungan keluarga. Saat usianya baru menginjak 8 tahun, Ahmad Dahlan sudah mampu membaca Al Quran sesuai dengan kaidah ilmu tajwid. Ahmad Dahlan juga menuntut ilmu agama pada ulama lain, sehingga pengetahuannya terus bertambah dan makin luas. Setelah dinilai cukup menguasai pengetahuan agama, ayahnya kemudian meminta Ahmad Dahlan merantau ke Mekkah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus memperdalam pengetahuan agama.

Berkat bantuan biaya dari Kiai Haji Soleh, kakak iparnya, Ahmad Dahlan berangkat ke Makkah pada 1883. Lima tahun di Makkah, dia mendalami berbagai ilmu agama seperti qiraat, tafsir, tauhid, fikih, tasawuf, ilmu falak, bahasa arab, dan ilmu lainnya. Mengutip buku Kyai Haji Ahmad Dahlan (2009) oleh Adi Nugroho, menjelang kepulangannya ke Tanah Air, Ahmad Dahlan menemui Imam Syai’I Sayid Bakri Syatha untuk mengubah nama. Nama Muhammad Darwis ditanggalkan dan diganti dengan Ahmad Dahlan dengan gelar Haji di depannya.

Pada periode inilah Muhammad Darwis mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu d alam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Selanjutnya pada tahun 1888 ia pulang kampung halaman. Setelah pulang kampung,

Ahmad Dahlan dengan bekal ilmunya diminta sang ayah untuk mengajar anak-anak di Kampung Kauman. Kegiatan belajar mengajar itu dilakukan pada siang dan sore hari di langgar atau surau ayahnya. Sesekali dia menggantikan mengajar orang dewasa apabila ayahnya berhalangan. Aktivitas inilah yang kemudian menyebabkan Ahmad Dahlan dipanggil sebagai Kiai. Kiai merupakan sebutan untuk ulama atau seseorang yang ahli agama, terutama di lingkungan tanah Jawa.

Pada 1889, Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah yang pada saat itu berusia tujuh belas tahun. Siti Walidah, atau di kemudian hari dipanggil Nyai Haji Ahmad Dahlan, merupakan putri Kyai Fadhil Kamaludiningrat, penghulu di Kraton Yogyakarta.

Bersama Siti Walidah, Ahmad Dahlan dikaruniai enam orang anak. Anak pertama, Johanah, lahir pada 1890. Anak kedua dan ketiga, Siradj Dahlan dan Siti Busjro masing-masing lahir pada 1889 dan 1903. Anak keempat, Siti Aisyah, lahir pada Anak kelima dan keenam, Irfan Dahlan lahir pada 1907, serta Siti Zuharah lahir pada 1908. Pada tahun 1903 ia berangkat kembali ke Makkah dan menetap di sana selama 2 tahun. Pada keberangkatan kedua ini tampaknya ia sengaja ingin memperdalam ilmu pengetahuan.

    Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Ia juga makin intens membaca berbagai literatur karya para pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Jamaluddin al-Afghani.

    Pemikiran para pembaharu inilah yang kemudian menginspirasi Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan di Indonesia.Nur Khozin dan Isnudi dalam buku KH Ahmad Dahlan (1868–1923) mengungkapkan, Ahmad Dahlan berhasil melakukan gerakan pembaharuan dalam bidang agama, pendidikan, sosial dan budaya melalui organisasi Muhammadiyah. Dedikasinya dalam melakukan pembaharuan sukses mengubah pandangan masyarakat terhadap gagasan-gagasan barunya. Mereka yang semula menolak, perlahan-lahan mulai menerima dan mengikuti paham keislaman sebagaimana tuntunan Al Quran dan hadis.

    Ladang Dakwah dan Perjuangan Pendidikan

    Di samping berdakwah menyebarkan ajaran Islam, Ahmad Dahlan juga menjalani profesi sebagai pedagang batik.Ia juga aktif di berbagai organisasi. Sifatnya yang supel, toleran dan luas pandangan membuatnya mudah diterima oleh berbagai kalangan. Bahkan ia juga bersahabat dan berdialog dengan Van Lith, seorang pastur dari Katolik.

    Ahmad Dahlan melihat bahwa persoalan pendidikan sebagai akar utama yang menyebabkan bangsa Indonesia, terutama umat Islam tertinggal.Karena itulah ia mengambil jalur pendidikan sebagai sarana utama berdakwah.

    Namun demikian, untuk memperluas gerak langkah dakwah ini, adanya lembaga pendidikan kiranya terlalu sempit. Beberapa sahabat Ahmad Dahlan menyarankannya untuk mendirikan organisasi.

    Akhirnya ia mendirikan organisasi Muhammadiyah.Perkumpulan Muhammadiyah berdiri pada 18 November 1912, bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah.

    Pada 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan surat permohonan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda agar Muhammadiyah diakui sebagai organisasi berbadan hukum. Permohonan disetujui pada 22 Agustus 1914, namun izin tersebut hanya berlaku di Yogyakarta.

    Pemerintah kolonial Hindia Belanda khawatir dengan aktivitas Muhammadiyah, sehingga kegiatannya dibatasi. Menyikapi keputusan pemerintah, Ahmad Dahlan menganjurkan pengurus di luar Yogyakarta menggunakan nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Almunir di Makassar, Alhidayah di Garut, dan Sidiq, Amanah, Tabligh, Fathonah di Solo.

    Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jamaah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Berbagai perkumpulan dan jamaah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, di antaranya ialah Ikhwanul-Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci. Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.

    Perjuangan yang dilakukan Ahmad Dahlan tergolong tidak mudah. Ia mendapat tantangan tidak hanya dari pemerintah Belanda, akan tetapi juga dari penduduk bumi putra, bahkan dari kalangan umat Islam sendiri. Menyikapi kondisi ini, KH Ahmad Dahlan rajin melakukan silaturahmi dan memberikan teladan hidup yang baik.

    Silaturahmi dijadikannya sebagai media untuk mendiskusikan gagasannya dengan ulama-ulama yang tidak sepaham, sehingga lambat laun tercapai kesepahaman.

    Secara sosial, KH Ahmad Dahlan bersama murid-muridnya rutin memberikan santunan kepada fakir miskin dan anak-anak yatim. Hal tersebut berhasil mengurangipandangan negatif pihak-pihak yang tak menghendaki lahirnya Muhammadiyah pada masa itu. KH Ahmad Dahlan tetap bertahan dan terus berjuang dengan sekuat tenaga hingga Muhammadiyah tetap bertahan hingga hari ini.

    KH Ahmad Dahlan berpulang ke rahmatullah pada tanggal 23 Februari 1923 dalam usia 55 tahun. Hari ini kita masih menyaksikan karya besar anak bumi putra ini. Pesan beliau selalu terngiang bagi para generasi penerusnya: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan cari hidup di Muhammadiyah”. Pesan moral sarat makna yang membuat Muhammadiyah kokoh melintasi zaman dan peradaban.

    dari berbagai sumber