MuslimPop | Allah SWT berfirman, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar Ra’du 11)
Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum, yakni Allah tidak mencabut nikmat-Nya dari mereka, sampai mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka dari keadaan yang bagus menjadi bergelimang kemaksiatan. Dan bila Allah menghendaki keburukan atau azab atas suatu kaum maka tidak akan ada yang bisa menolaknya, baik para malaikat maupun yang lain.
Ibnu Abbas dalam tafsirnya menerangkan bahwa manusia itu senantiasa diikuti oleh para malaikat yang saling susul-menyusul silih berganti, malaikat malam menggantikan malaikat siang dan malaikat siang menggantikan malaikat malam. Dan dengan perintah Allah mereka senantiasa menjaga manusia, baik di depan maupun di belakang manusia, baik lebih dulu maupun terkemudian.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan aman dan nikmat suatu kaum sampai kaum itu menguba apa yang ada dalam diri mereka sendiri lantaran tidak bersyukur. Dan jika Allah berkehendak menyiksa atau membinasakan suatu kaum maka tidak ada yang bisa menolak qadla’ Allah terhadap mereka. Dan tidak ada penolong selain Allah bagi mereka yang dikehendaki keburukan oleh Allah yang bisa melindungi mereka dari azab Allah.
Imam Suyuthi dalam tafsirnya Ad Durrul Mantsur menukil riwayat yang dikeluarkan oleh Abus Syaikh dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Allah tidak mengubah nikmat dari suatu kaum hingga mereka mengerjakan berbagai perbuatan maksiat, maka Allah mengangkat berbagai nikmat dari mereka.
Dimulai dari Diri Sendiri
Dalam menafsirkan ayat, “innallaha laa yughayyiruu maa biqaumin hatta yughayyiruu maa bianfusihim…” tafsir Al Wajiz menerangkan bahwa Allah tidak mencabut kenikmatan yang ada pada suatu kaum hingga mereka melakukan perbuatan maksiat kepada Allah.
Imam As Suyuthi dalam tafsir Ad Durrul Mantsur Juz 8/390 mengutip suatu riwayat yang dikeluarkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam kitab Al Arsy, juga Abu Syaikh dan Ibn Mardawih dari Ali r.a. dari Rasulullah SAW:
Allah berfirman : Demi kemuliaan dan kehormatan serta ketinggian-Ku di atas Arsy, tidaklah penduduk suatu kampung, penghuni suatu rumah, dan seorang lelaki di suatu padang pasir yang berada dalam kondisi Kubenci karena bermaksiat kepada-Ku kemudian mereka mengubah keadaan itu kepada keadaan yang Ku-cintai karena ketaatan kepada-Ku, melainkan pasti akan Kuubah keadaan mereka dari adzab-Ku yang tidak mereka sukai kepada rahmat-Ku yang mereka sukai.
Dan tidaklah penghuni suatu rumah, kampung, dan seorang lelaki di padang pasir yang berada dalam keadaan yang Kucintai lantaran ketaatan mereka kepada-Ku lalu mereka berubah kepada keadaan yang Kubenci karena bermaksiat kepada-Ku, melainkan Aku ubah keadaan mereka dari mendapatkan rahmat-Ku yang mereka sukai kepada kemarahan-Ku yang tidak mereka sukai.
Dengan demikian jelaslah bahwa Allah SWT memberikan respon tentang perubahan yang dimulai dari perubahan dari apa yang ada dalam diri manusia itu sendiri, baik kondisi manusia secara individual, di suatu rumah, maupun di masyarakat.
Dan perubahan kondisi baik dan buruk itu terkait dengan ketatan dan kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia kepada Allah SWT, baik secara individual maupun secara kolektif.